Friday 3 March 2017

Pernah menjadi Sahabat

Diposkan oleh corat coret di 11:52:00
Manusia adalah makhluk sosial dan tidak bisa hidup sendiri
mereka memerlukan teman, teman untuk berbagi
walaupun bukan sahabat, setidaknya ada sekutu 

           Sahabat dan teman mana yang lebih intim? saya rasa sahabat lebih intim karena sahabat bisa menjadi sinonim dari teman dekat. Menurut cerita orang lain, sahabat adalah teman terdekat yang menemani lika-liku kehidupan kita baik suka maupun duka. Dan menurut paham saya, jarang ada orang yang memiliki sahabat sejak dari kecil sampai dewasa masih menjalin komunikasi intens seperti dulu. Kalaupun ada sungguhlah sangat beruntung orang semacam itu. 
           Saya pribadi pernah memiliki teman sewaktu kecil, panggil saja Venus. Venus menemani perjalanan saya dari semenjak saya menginjakkan kaki di halaman pelataran Sekolah Dasar hingga terus tumbuh bersama sampai kelas enam. Dia memang anak tetangga tapi tetangga jauh, rumah kami sudah beda RT dan RW dipisahkan dengan jalan raya besar, dia di utara jalan sedangkan saya di selatan jalan. Saya bukan termasuk anak pemberani kala itu, sehingga setiap pagi Venus selalu menghampiri saya ketika hendak berangkat sekolah. Kami bersama-sama berjalan kaki. Begitupun ketika bubaran sekolah, dia juga selalu mengawal saya sampai di rumah baru kemudian dia pulang sendirian menuju rumahnya. Selalu begitu sampai tahun terakhir di SD. Pertemanan kami hanya sebatas sekutu pulang dan pergi. Kami tidak pernah bermain bersama ketika sekolah selesai. Alasannya karena jalan raya besar itu memisahkan rumah kami. Orang tua kami tidak mengijinkan anaknya bermain menyebrangi jalan raya. Dia memiliki teman bermain sendiri di lingkungan rumahnya begitupun saya. Ketika di lingkungan sekolahpun Venus jarang bermain dengan saya, dia termasuk anak yang aktif secara fisik sehingga dia bermain dengan teman-teman yang juga punya kelebihan tenaga seperti dirinya. Saya tidak termasuk karena saya bukan penggila aktifitas fisik, saya lebih memilih menghabiskan waktu istirahat saya dengan duduk di bawah pohon Filicium. Kami berpisah sewaktu menginjak SMP karena sekolah kami berbeda. Sejak saat itu kami jarang bertemu, kini dia sudah memiliki dua anak lelaki dan menjadi tetangga dekat rumah. Namun karena lamanya waktu memisahkan kami maka saya pribadi selalu kikuk untuk berbicara panjang dengannya. Kami hanya saling sapa saja ketika bertemu, lebih tidak. 
           Memasuki Sekolah Menengah Pertama, teman saya juga cenderung sekutu saja. Iya sekutu persebangkuan setiap catur wulan (dulu sistem sekolah bukan semester tapi catur wulan), ketika pindah catur wulan jelas beda teman sebangkunya. Pada akhirnya teman waktu SMP hanyalah teman sebangku yang akan berubah-rubah setiap perpindahan catur wulan. Dalam menjadi sekutu sebangku, saya hanya mengenal teman saya sebatas di lingkungan kelas saja dan paling dalam saya hanya tahu siapa gebetannya. Rumahnya dimana, anaknya bapak ibu siapa, yang mana kakak atau adiknya, di rumah dia berlaku seperti apa, saya tidak tahu. Mengapa tidak bermain bersama setelah pulang sekolah supaya lebih akrab?? karena satu dan lain hal, salah satunya adalah keterbatasan uang saku, sungguh saya tidak bisa mampir ke rumah teman sebangku itu walalupun ingin. Setidaknya untuk menjangkau rumah teman sebangku itu diperlukan satu kali ongkos angkot. Dan saya tidak punya kelebihan uang saku, uang saku saya selalu pas untuk ongkos pulang dan pergi saja. Oh iya sebagai sekutu teman naik angkot selepas bubaran sekolah saya juga punya waktu itu. Tolong jangan tanyakan smartphone ataupun medsos, tidak ada jaman itu. HP yang pertama kali saya pegang adalah Nokia 3315 (adik upgrade dari 3310), pulsa masih mahal sehingga tidak mungkin membuang sms percuma dengan hanya say hello. Hubungan saya dengan sekutu-sekutu itu kandas dan hanya meninggalkan memori ketika saya melanjutkan ke jenjang SMA. Sekolah kami benar-benar berbeda.
           Di masa SMA, saya memiliki teman juga. Hubungan saya lebih baik dengan sesama spesies saya di kala itu. Panggil saja dia Mars. Mars menemani saya sejak dari kelas satu hingga kelas tiga. 36 purnama dia telah menjadi sekutu sebangku, sekutu sekelas, sekutu pulang pergi dan bolehlah disebut sahabat. Rumah Mars yang dekat dengan sekolah dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki tanpa lelah membuat saya yang bernasib masih sama (uang saku pas-pasan) bisa mampir bermain ke rumahnya sepulang sekolah. Sehingga saya mengenal ibu, bapak dan adiknya. Lebih dari saya tahu siapa gebetannya, bahkan setiap kali dia menaksir cowok siapapun itu saya selalu tahu. Karena persekutuan kami sudah menginjak ke taraf curhatan. Apa yang dia lakukan di waktu senggangpun saya tahu, karena telepon rumah kami selalu sahut menyahut begitu ada berita baru mengenai diri kami. Bagaimana kelanjutannya setelah 36 purnama? iya sama seperti sebelum-sebelumnya. Waktu ditambah dengan nasib merenggut kami. Hubungan kami berjarak karena berbeda kampus. Telpon yang menghantarkan suaranya sudah tidak pernah berdering karena perbedaan aktivitas. Pertemuan dan perpisahan selalu beriringan dan tiada berjarak. Dan sekarang kami hanya dipertemukan lewat medsos. Dari dinding medsosnya, saya tahu dia sudah memiliki sahabat sendiri.
           Bangku kuliah mendidik saya menjadi individu bukan sosial lagi. Tidak ada sahabat disana melainkan sekumpulan sekutu atau rekan saja. Kami hanya saling membutuhkan jika saling menguntungkan selebihnya tidak. Itu menurut saya di tahun pertama saya disana. Ditahun selanjutnya saya memiliki teman lagi seperti Mars, panggil dia Bumi. Sebenarnya bukan kali pertama saya mengenal Bumi. Dia adalah teman sekelas ketika saya SMA kelas 1 dan kelas 3. Namun karena dia memiliki geng sendiri, maka kami tidak pernah dekat. Hanya sebatas teman sekelas yang say hello dan bertanya tentang tugas dan mata pelajaran. Bumi seperti Mars, dia bisa dikatakan sahabat, bukan hanya sekutu saja. Cerita sedih dan senang semua kami lalui bersama. Saat sedang santai mengopi bersama di kantin kampus sampai harus berlama-lama menekuri setiap lembar buku di pojok perpustakaan demi tugas telah kami lakukan bersama. Urusan gebetan adalah curhatan kami di waktu senggang, curhatan perihal tetek bengek masalah rumah adalah cemilan kami di kala lelah. Ibarat tanah lapang begitulah kami, tiada sekat yang bisa menyembunyikan sesuatu bernama rahasia. Walaupun ada suatu hal yang entah bagaimana bisa membuat saya merasa tak memiliki sahabat (hal ini bisa saya ceritakan lain waktu). Sampai suatu ketika nasib dan waktu memisahkan kami kembali. Kami terpisah karena berbeda jobsite, saya di Gresik dan Bumi di Mojokerto. Bagaimana sekarang? walaupun kami saling memiliki contact Whatsapp tapi kami tak pernah saling menyapa lagi. Entah mengapa, mungkin kikuk, mungkin kaku, mungkin lupa dan mungkin-mungkin yang lain.
           Lalu apa yang bisa saya ambil dari semua itu? bukan, saya tidak pernah menyalahkan waktu dan nasib walaupun keduanya seolah-olah merenggut apa yang pernah saya sebut sebagai teman atau sahabat. Menurut saya pribadi, sahabat itu tidaklah ada. Mungkin ada tapi hanya bagi sekumpulan orang yang beruntung. Bagi saya yang ada bukanlah sahabat melainkan rekan persekutuan sementara dimana ada simbiosis mutualisme disana. Jika artian sahabat adalah orang yang selalu menemani kita baik suka maupun duka, maka sepantasnya saya menyematkan julukan sahabat kepada kedua orang tua dan saudara kandung saya. Juga kepada pasangan saya (suami) kelak, karena merekalah yang benar-benar akan menghabiskan waktunya bersama saya, menemani saya apapun keadaan saya. Dan lagi-lagi nanti waktu jua yang akan memisahkan dengan perantara maut. 

3 Maret 2017
#KF3Days
#Day1
Kampus Fiksi
IkaVihara
Writing Challenge

1 komentar:

Nue Gunawand said... Reply Comment

Persekutuan :D :D
Yahh.. Sejatinya persahabatan di dalam jalinan pertemanan itu tidak ada, yang ada hanyalah persekutuan simbiosis mutualisme.

Post a Comment

 

Corat Coret Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review