Rintikan air hujan masih terdengar syahdu di luar sana,
hembusan semilir angin mulai merayapi kulit. Dingin. Aku mengelus tanganku
perlahan. Selalu seperti ini jika aku merasa sendu, menatap tarian air dan
gemerincing melodinya dari balik jendela kamarku. Lalu sekelebat
kenangan-kenangan itu datang silih berganti tanpa pamit, senyumannya – tawanya – marahnya –
cintanya – ketulusannya – dedikasinya – semua kebaikan dan semua hal kecil yang
bisa aku ingat datang berupa-rupa. ‘’ayah….’’ Desahku. Kelibatan itu terus
menggelar gulungan-gulungan kenangannya seperti film yang diputar diingatanku walau
hanya sepotong-potong.
‘’Kim, setelah ini kamu lulus mau kerja dimana?’’ tanya
ayahku sembari membaca Koran edisi pagi itu
‘’ wah…kalau aku sih Yah, sudah akan dapat kerjaan sebelum
lulus’’ sahutku cengar-cengir sambil melahap roti yang memang tinggal satu
gigitan
‘’aamiin’’
Sepotong percakapan anak dan ayah di pagi itu rupanya
didengar malaikat dan disampaikan kepadaNya. Sehingga hari ini tepat hari ke 45
wafatnya Ayah aku sudah menggenggam gaji pertamaku. Air mataku mulai menggenang
dipelupuk mata dan berderailah tangisku karena semua perasaan pedih yang
merengkuh relung hatiku. ‘’ayah kenapa harus ayah yang pergi dulu?’’ batinku yang
terus saja mendobrak-dobrak pintu kenyataan berharap semua ini hanya mimpi. “bahkan
aku tak sempat membelikan Ayah sarung dan songkok untuk ke masjid, kenapa Ayah
pergi?”
“kenapa Ayah tak mengajakku?”
“ kenapa bukan aku saja ya Allah? Kenapa harus ayah? Dina,
Nabil dan Ibu lebih membutuhkan ayah”
“kenapa…….? Kena….pa…?” terus-menerus batinku bertanya-tanya
dalam bisu dan berderai-derailah air mata ini berjatuhan.
Bertumpuk-tumpuk penyesalan menghinggapi pikiran, begitu
banyak waktuku terbuang percuma dengan marahku kepada Ayah saat aku
dilarang-larang melakukan ini dan itu. Jika memang seperti ini seharusnya aku
bisa menghargai waktu bersama Ayah. Aku akan memijitnya ketika Ia lelah setelah
seharian bekerja. Aku tak akan membantah perintahnya dan membuatnya kesal
terhadapku. Dan aku akan menjadi anak gadisnya yang paling penurut.
Pengandaian-pengandaian itu terus bergema-gema dibatin.
Dan sore itu kuhabiskan dengan linangan air mata tiada henti
menyesalkan waktu yang sedemikiannya singkatnya. Jodoh kami sebagai anak dan
ayah terputus disaat aku akan memberikannya hadiah dari gaji pertamaku.